BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Angka
Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan
derajat kesehatan masyarakat. Salah satu prioritas utama dalam pembangunan
sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Propenas serta strategi Making
Pregnancy Safer (MPS) atau kehamilan yang aman sebagai kelanjutan dari program
Safe Motherhood dengan tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan
kematian ibu dan bayi baru lahir (MDG’s, 2010), dalam pernyataan yang
diterbitkan di situs resmi WHO dijelaskan bahwa untuk mencapai target
Millennium Development Goal’s, penurunan angka kematian ibu dari tahun 1990
sampai dengan 2015 haruslah mencapai 5,5 persen pertahun (antaranews, 2007)
Salah
satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu adalah infeksi pada masa nifas
dimana infeksi tersebut berawal dari ruptur perineum. Ruptur Perineum dapat
terjadi karena adanya rupture spontan maupun episiotomi perineum yang dilakukan
atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan
letak, persalinan dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena
apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak
perlu dilakukan dengan indikasi di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian
dan beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih berat (Prawirohardjo,
2005).
Di
seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus rupture perineum pada ibu
bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring
dengan semakin tingginya bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan
baik. (Hilmy, dalam http://stikesharapanmama.blogspot.com, 2010).
Di
Amerika 26 juta ibu bersalin yang mengalami rupture perineum, 40 % diantaranya
mengalami rupture perineum (Heimburger, dalam http://stikes
harapanmama.blogspot.com, 2009). Di Asia rupture perineum juga merupakan
masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian rupture perineum
di dunia terjadi di Asia (Campion, dalam http://stikes
harapanmama.blogspot.com, 2009). Prevalensi ibu bersalin yang mengalami rupture
perineum di Indonesia pada golongan umur 25-30 tahun yaitu 24 % sedang pada ibu
bersalin usia 32 –39 tahun sebesar 62 %.
Dampak dari
terjadinya rupture perineum pada ibu antara lain terjadinya infeksi pada luka
jahitan dimana dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan
lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih
maupun infeksi pada jalan lahir. Selain itu juga dapat terjadi perdarahan
karena terbukanya pembuluh darah yang tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi terus menerus. Penanganan komplikasi yang lambat dapat
menyebabkan terjadinya kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik
ibu post partum masih lemah.
Beberapa
faktor penyebab terjadinya rupture perineum terdiri atas faktor ibu seperti:
usia, paritas, partus presipitatus, ibu yang tidak mampu berhenti mengejan,
partus yang diselesaikan dengan buru-buru, edema dan kerapuhan perineum,
varises vulva, arkus pubis yang sempit sehingga kepala terdorong kebelakang dan episiotomi yang
sempit, dan faktor janin antara lain: bayi besar, kelainan presentasi,
kelahiran bokong, distosia bahu (Oxorn, 2010).
B.
Tujuan
1.
TujuanUmum
Untuk mengetahui tentang robekan
jalan lahir pada perineum dan karakteristiknya sertapenangannya.
2.
TujuanKhusus
a.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui pengertian rupture perineum;
b.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui klasifikasi rupture perineum;
c.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui tingkatan rupture perineum;
d.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui tanda dan gejala rupture perineum;
e.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui penyebab rupture perineum;
f.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui risiko pada rupture perineum;
g.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui tindakan pada rupture perineum;
h.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui penanganan pada rupture perineum;
i.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui pengobatan pada rupture perineum;
j.
Mahasiswa dapat mengerti
dan mengetahui komplikasi pada rupture perineum.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Perineum merupakan bagian permukaan
dari pintu bawah panggul yang terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri
dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis. Rupture
perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik
secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau
tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi
luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum
terjadi pada hampir semua primipara (Wiknjosastro, 2005:
665).
Ruptur
Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan
maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi
pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin terlalu cepat.
Robekan perineum terjadi pada hampir semua primipara (Winkjosastro,2005).
Ruptur
perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum yang biasanya disebabkan
oleh trauma saat persalinan (Maemunah, 2005).
Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya (Prawirohardjo,2007).
Robekan
perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa
sehinga kepala janin terpaksa lahir lebih kebelakang dari pada biasa, kepala
janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada
sirkumferensia suboksipito bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vagina.
B.
Klasifikasi
1.
Ruptur Perineum Spontan
Yaitu
luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan
tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan
biasanya tidak teratur.
2.
Ruptur perineum yang disengaja
(Episiotomi)
Yaitu
luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada
perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar
saluran keluar vagina.
Gambar : Episiotomi median dan Episiotomi medio-lateral
C.
Tingkatan
Ruptur Perineum
1.
Tingkat I
Robekan
hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau mengenai kulit perineum
sedikit.
2.
Tingkat II
Robekan yang
terjadi lebih dalam, yaitu selain mengenai selaput lendir vagina, juga mengenai
musculus perinei tranversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
3.
Tingkat III
Robekan yang
terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
4.
Tingkat IV
Robekan
mengenai perineum sampai otot sfingter ani dan mukosa rektum.
Gambar : Derajat Robekan Perineum
D.
Tanda Dan
Gejala
Tanda dan
gejala robekan rupture adalah sebagai berikut :
1.
Tanda-tanda Rupture :
a.
Darah segar yang mengalir
setelah bayi lahir ;
b.
Uterus tidak berkontraksi
dengan baik;
c.
Plasenta tidak normal.
2.
Gejala yang sering terjadi
adalah:
a.
Pucat;
b.
Lemah;
c.
Pasien dalam keadaan menggigil.
E.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Terjadinya Robekan Perineum
1. Faktor
Predisposisi
Faktor
penyebab ruptur perineum diantaranya adalah faktor ibu, faktor janin, dan
faktor persalinan pervaginam. Diantara faktor-faktor tersebut dapat diuraikan
sebagai beriut :
1) Faktor Ibu
a) Paritas
Menurut
panduan Pusdiknakes 2003, paritas adalah jumlah kehamilan yang mampu menghasilkan janin hidup di luar rahim
(lebih dari 28 minggu). Paritas menunjukkan jumlah kehamilan terdahulu yang
telah mencapai batas viabilitas dan telah dilahirkan, tanpa mengingat jumlah
anaknya (Oxorn, 2003). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia paritas adalah keadaan
kelahiran atau partus. Pada primipara robekan perineum hampir selalu terjadi
dan tidak jarang berulang pada persalinan berikutnya (Sarwono, 2005).
b) Meneran
Secara
fisiologis ibu akan merasakan dorongan untuk meneran bila pembukaan sudah
lengkap dan reflek ferguson telah terjadi. Ibu harus di dukung untuk meneran
dengan benar pada saat ia merasakan dorongan dan memang ingin mengejang
(Jhonson, 2004). Ibu mungkin merasa dapat meneran secara lebih efektif pada
posisi tertentu (JHPIEGO, 2005). Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
memimpin ibu bersalin melakukan meneran untuk mencegah terjadinya ruptur
perineum, diantaranya :
- Menganjurkan
ibu untuk meneran sesuai dengan dorongan alamiahnya selama kontraksi.
- Tidak
menganjurkan ibu untuk menahan nafas pada saat meneran.
- Mungkin ibu
akan merasa lebih mudah untuk meneran jika ibu berbaring miring atau setengah
duduk, menarik lutut ke arah ibu, dan menempelkan dagu ke dada.
- Menganjurkan
ibu untuk tidak mengangkat bokong saat meneran.
- Tidak
melakukan dorongan pada fundus untuk membantu kelahiran bayi. Dorongan ini
dapat meningkatkan resiko distosia bahu dan ruptur uteri.
- Pencegahan
ruptur perineum dapat dilakukan saat bayi dilahirkan terutama saat kelahiran
kepala dan bahu.
2) Faktor Janin
a) Berat Badan Bayi Baru lahir
Makrosomia
adalah berat janin pada waktu lahir lebih dari 4000 gram. Makrosomia disertai
dengan meningkatnya resiko trauma persalinan melalui vagina seperti distosia
bahu, kerusakan fleksus brakialis, patah tulang klavikula, dan kerusakan
jaringan lunak pada ibu seperti laserasi jalan lahir dan robekan pada perineum.
b) Presentasi
Menurut
kamus kedokteran, presentasi adalah letak hubungan sumbu memanjang janin dengan
sumbu memanjang panggul ibu. Presentasi digunakan untuk menentukan bagian yang
ada di bagian bawah rahim yang dijumpai pada palpasi atau pada pemeriksaan
dalam.
Macam-macam
presentasi dapat dibedakan menjadi presentasi muka, presentasi dahi, dan
presentasi bokong.
- Presentasi
Muka
Presentasi
muka atau presentasi dahi letak janin memanjang, sikap extensi sempurna dengan
diameter pada waktu masuk panggul atau diameter submento bregmatika sebesar 9,5
cm. Bagian terendahnya adalah bagian antara glabella dan dagu, sedang pada
presentasi dahi bagian terendahnya antara glabella dan bregma (Oxorn, 2003).
Sekitar 70% presentasi muka adalah dengan dagu di depan dan 30% posisi dagu di
belakang.
Keadaan yang
menghambat masuknya kepala dalam sikap flexi dapat menjadi penyebab pesentasi
muka. Sikap ekstensi memiliki hubungan dengan diproporsi kepala panggul dan
merupakan kombinasi yang serius, maka harus diperhitungkan kemungkinan panggul
yang kecil atau kepala yang besar. Presentasi muka menyebabkan persalinan lebih
lama dibanding presentasi kepala dengan UUK (Ubun-ubun Kecil) di depan, karena
muka merupakan pembuka servik yang jelek dan sikap ekstensi kurang
menguntungkan.
Penundaan
terjadi di pintu atas panggul, tetapi setelah persalinan lebih maju semuanya
akan berjalan lancar. Ibu harus bekerja lebih keras, lebih merasakan nyeri, dan
menderita lebih banyak laserasi dari pada kedudukan normal. Karena persalinan
lebih lama dan rotasi yang sukar akan menyebabkan traumatik pada ibu maupun
anaknya.
- Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah sikap ekstensi sebagian (pertengahan),
hal ini berlawanan dengan presentasi muka yang ekstensinya sempurna. Bagian
terendahnya adalah daerah diantara margo orbitalis dengan bregma dengan
penunjukknya adalah dahi. Diameter bagian terendah adalah diameter
verticomentalis sebesar 13,5 cm, merupakan diameter antero posterior kepala janin
yang terpanjang.
Presentasi dahi primer yang terjadi sebelum persalinan
mulai jarang dijumpai, kebanyakan adalah skunder yakni terjadi setelah
persalinan dimulai. Bersifat sementara dan kemudian kepala fleksi menjadi
presentasi belakang kepala atau ekstensi menjadi presentasi muka. Proses
lewatnya dahi melalui panggul lebih lambat, lebih berat, dan lebih traumatik
pada ibu dibanding dengan presentasi lain. Robekan perineum tidak dapat
dihindari dan dapat meluas atas sampai fornices vagina atau rektum, karena
besarnya diameter yang harus melewati PBP (Pintu Bawah Panggul).
- Presentasi
Bokong
Presentasi
bokong memiliki letak memanjang dengan kelainan dalam polaritas. Panggul janin
merupakan kutub bawah dengan penunjuknya adalah sacrum. Berdasarkan posisi
janin, presentasi bokong dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu presentasi
bokong sempurna, presentasi bokong murni, presentasi bokong kaki, dan presentasi
bokong lutut. Kesulitan pada persalinan bokong adalah terdapat peningkatan
resiko maternal.
Manipulasi
secara manual pada jalan lahir akan meningkatkan resiko infeksi pada ibu.
Berbagai perasat intra uteri, khususnya dengan segmen bawah uterus yang sudah
tipis, atau persalinan setelah coming head lewat servik yang belum berdilatasi
lengkap, dapat mengakibatkan ruptur uteri, laserasi serviks, ataupun keduanya.
Tindakan manipulasi tersebut dapat pula menyebabkan robekan perineum yang lebih
dalam (Cunningham, 2005).
3) Faktor
Persalinan Pervaginam
a) Vakum ekstrasi
Vakum
ekstrasi adalah suatu tindakan bantuan persalinan, janin dilahirkan dengan
ekstrasi menggunakan tekanan negatif dengan alat vacum yang dipasang di
kepalanya. Waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik
relatif lebih lama daripada forsep (lebih dari 10 menit). Cara ini tidak dapat
dipakai untuk melahirkan anak dengan fetal distress (gawat janin). Komplikasi
yang dapat terjadi pada ibu adalah robekan pada serviks uteri dan robekan pada
vagina dan ruptur perineum.
b) Ekstrasi
Cunam/Forsep
Ekstrasi Cunam/Forsep adalah suatu persalinan buatan,
janin dilahirkan dengan cunam yang dipasang di kepala janin. Komplikasi yang
dapat terjadi pada ibu karena tindakan ekstrasi forsep antara lain ruptur
uteri, robekan portio, vagina, ruptur perineum, syok, perdarahan post partum,
pecahnya varices vagina.
c) Embriotomi
Embriotomi adalah prosedur penyelesaian persalinan
dengan jalan melakukan pengurangan volume atau merubah struktur organ tertentu
pada bayi dengan tujuan untuk memberi peluang yang lebih besar untuk melahirkan
keseluruhan tubuh bayi tersebut. Komplikasi yang mungkin terjadi atara lain
perlukaan vagina, perlukaan vulva, ruptur perineum yang luas bila perforator
meleset karena tidak ditekan tegak lurus pada kepala janin atau karena tulang
yang terlepas saat sendok tidak dipasang pada muka janin, serta cedera saluran
kemih/cerna, atonia uteri dan infeksi.
d) Persalinan
Presipitatus
Persalinan presipitatus adalah persalinan yang
berlangsung sangat cepat, berlangsung kurang dari 3 jam, dapat disebabkan oleh
abnormalitas kontraksi uterus dan rahim yang terlau kuat, atau pada keadaan
yang sangat jarang dijumpai, tidak adanya rasa nyeri pada saat his sehingga ibu
tidak menyadari adanya proses persalinan yang sangat kuat (Cunningham, 2005).
Sehingga sering petugas belum siap untuk menolong persalinan dan ibu mengejan
kuat tidak terkontrol, kepala janin terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini
akan memperbesar kemungkinan ruptur perineum. Menurut buku Acuan Asuhan Persalinan
Normal (2008) laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat
kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi
dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali.
4) Faktor
Penolong Persalinan
Penolong
persalinan adalah seseorang yang mampu dan berwenang dalam memberikan asuhan
persalinan. Pimpinan persalinan yang salah merupakan salah satu penyebab
terjadinya ruptur perineum, sehingga sangat diperlukan kerjasama dengan ibu dan
penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala, bahu, dan
seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi.
F.
Resiko
Resiko yang ditimbulkan karena
robekan jalan lahir adalah perdarahan yang dapat menjalar ke segmen
bawah uterus. Resiko lain yang dapat terjadi karena robekan jalan
lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak berdaya, lemah, tekanan
darah turun, anemia dan berat badan turun.
G.
Tindakan
Tindakan
yang dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah sebagai berikut:
1.
Memasang kateter ke dalam kandung kencing
untuk mencegah trauma terhadap uretra saat penjahitan robekan jalan
lahir
2.
Memperbaiki robekan
jalan lahir.
3.
Jika perdarahan tidak berhenti,
tekan luka dengan kasa secara kuat kira-kira selama beberapa menit. Jika
perdarahan masih berlangsung, tambahkan satu atau lebih jahitan untuk
menghentikan perdarahan
4.
Jika perdarahan sudah
berhenti, dan ibu merasa nyaman dapat diberikan makanan dan minuman pada ibu.
H.
Penanganan
Penanganan
robekan jalan lahir adalah:
1.
Untuk mencegah luka yang robek
dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan
dilakukan episotomi.
2.
Bila dijumpai robekan
perineum dilakukan penjahitan luka dengan baik lapis demi lapis, dengan
memperhatikan jangan ada robekan yang terbuka ke arah vagina yang biasanya
dapat dimasuki oleh bekuan darah yang akan menyebabkan luka lama sembuh.
3.
Dengan memberikan antibiotik
yang cukup.
4.
Tujuan penjahitan robekan perineum
adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah
yang tidak perlu. Penjahitan dilakukan dengan cara jelujur menggunakan benang
catgut kromik. Dengan memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan
laserasi, dan mengulangi pemberian anestesi jika masih terasa sakit.
Penjahitan dimulai satu cm dari puncak luka. Jahit sebelah
dalam ke arah luar, dari atas hingga mencapai bawah
laserasi. Pastikan jarak setiap jahitan sama dan otot yang
terluka telah dijahit. Ikat benang dengan membuat simpul
dalam vagina.
Potong ujung benang dan
sisakan 1,5 cm. melakukan pemeriksaan ulang pada vagina
dan jari paling kecil ke dalam anus untuk mengetahui
terabanya jahitan pada rectum karena bisa menyebabkan
fistula dan bahkan infeksi (Depkes, 2004).
Gambar : Hecting Perineum
I.
Pengobatan
Pengobatan yang dapat dilakukan
untuk robekan jalan lahir adalah dengan memberikan uterotonika
setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh diberikan sebelum
bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini
adalah untuk mengurangi terjadinya perdarahan pada
kala III dan mempercepat lahirnya plasenta.
Perawatan luka perineum pada ibu
setelah melahirkan berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga
kebersihan, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan
perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah :
1.
Mencegah kontaminasi dengan
rectum
2.
Menangani dengan lembut
jaringan luka
3.
Membersihkan darah yang
menjadi sumber infeksi dan bau.
J.
Komplikasi
Resiko
komplikasi yang mungkin terjadi jika rupture perineum tidak
segera di atas, yaitu :
1.
Perdarahan
Seorang
wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu
satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama
kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah
yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta
memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot (Depkes, 2006).
2.
Fistula
Fistula
dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina menembus
kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing
akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing
atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi
iskemia (Depkes, 2006).
3.
Hematoma
Hematoma
dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya penekanan
kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa
nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan
merah.
4.
Infeksi
Infeksi
pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada
kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya
kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan
meningkatnya suhu tubuh melebihi 380C, tanpa menghitung pireksia
nifas.
Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas
harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada traktus
gentitalis untuk mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi.
Robekan
jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan yang berasal dari perineum, vagina,
serviks dan robekan uterus (rupture uteri). Penanganan yang dapat dilakukan
dalam hal ini adalah dengan melakukan evaluasi terhadap sumber dan
jumlah perdarahan. Jenis robekan perineum adalah mulai dari tingkatan
ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh perineum yaitu
mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Rupture perineum
dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab
terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum,
maka tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.
SAAT
JAHITANKU HARUS DIBONGKAR ULANG
Ini kehamilanku yang ketiga.
Meskipun di Jakarta banyak dokter kandungan perempuan, tapi ibu dokter kandungan
yang satu ini sangat laris. Dokter Ria Jayanti, Sp.O.G., yang berpraktek di
klinik SEHATI, klinik yang dibangun berdua dengan suaminya yang kebetulan juga
seorang dokter bedah tulang.
Setiap aku ingin memeriksakan
kandunganku di malam hari (karena siangnya aku dan suami bekerja), aku harus
sengaja datang lebih awal untuk mendapatkan nomor urut agar nantinya tidak
antri terlalu lama. Itu pun harus konfirmasi terlebih dahulu lewat telepon
sejak pagi untuk mendapatkan ’kuota’ periksa hari itu. Pasiennya dalam semalam
bisa mencapai tiga puluhan, dan itu baru selesai sekitar jam sebelas malam!.
Pernah, aku agak telat mendaftar,
baru datang ke klinik Sehati kurang lebih jam tujuh malam. Ternyata aku
mendapatkan nomor urut dua puluh dua. Halah, padahal dokternya baru saja mulai
praktek. Setiap pasien diperiksa sekitar seperempat jam. Waduh, lalu jam berapa
giliranku? Untunglah, rumah adik iparku tidak terlalu jauh dari klinik Sehati.
Aku memutuskan untuk istirahat saja dulu di rumah adik, lalu sekira jam sepuluh
balik lagi ke klinik tersebut.
Tepat jam sepuluh malam, aku balik
lagi ke klinik, menunggu dua pasien diperiksa, lalu tibalah giliranku. Ini
pemeriksaan untuk minggu keempat puluh, usia sangat matang untuk melahirkan.
Seperti dua kehamilanku sebelumnya, meski usia kehamilan sudah empat puluh
pekan, tanda-tanda kontraksi tak kunjung datang. Bahkan cuma kontraksi palsu
(Braxton Hicks) pun tak kurasakan. Biasanya, aku melahirkan mundur sepekan
sampai sepuluh haru dari Hari Perkiraan Lahir (HPL).
Setelah dilakukan pemeriksaan dalam
dan USG, ternyata di rahimku mulai terjadi pengapuran, sehingga dokter Ria
memutuskan supaya aku meminum pil untuk merangsang kontraksi, pil citotek. Aku
diberikan dua pil, yang satu diminum langsung saat itu juga, dan satu kapsul
lagi diminum lima jam kemudian. Jika tetap tidak terjadi tanda-tanda kontraksi,
dokter Ria menyarankan supaya esok hari aku datang ke klinik lagi karena akan
dilakukan tindakan perangsangan kontraksi dengan cara lain.
Sepulang dari klinik, aku mencoba
tidur, tapi ternyata tidak bisa terlelap. Mulas? Tidak juga. Ada rasa mulas
sedikit tapi justru terasa di perut bagian atas, tidak pindah ke bagian bawah.
Lima jam kemudian, aku telan pil perangsang yang kedua, lalu mencoba tidur
lagi. Tetap seperti sebelumnya, tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mulas tetap
cuma terasa di bagian atas, sama sekali bukan kontraksi. Kan ini kehamilanku
yang ketiga, aku sudah bisa membedakan mana mulas biasa dan yang mana mulas
menjelang melahirkan.
Pagi hari jam delapan, berhubung
belum ada tanda-tanda kontraksi sama sekali, aku dan suami bersiap-siap ke
klinik Sehati. Tak lupa kubawa satu tas travel ukuran sedang perlengkapan untuk
persalinan, yang jauh-jauh hari sudah kusiapkan.
Sampai di klinik tersebut aku
menyerahkan surat pengantar dari dokter Ria pada bidan Ana. Surat pengantar itu
dibuat semalam, yang isinya tindakan medis yang perlu dilakukan padaku jika aku
datang. Bidan Ana memintaku untuk tidur, dan aku diberi obat perangsang mulas
lagi, tapi kali ini dari bawah (vaginal).
Karena aku tak betah duduk diam
menunggu, aku minta ijin pada bidan Ana untuk menunggu mulas sambil
berjalan-jalan di sekitar klinik, dan dia mengiyakan. Ditemani suami, aku
berjalan-jalan santai, pikirku sambil memperlancar jalannya persalinan kalau
nanti sudah saatnya kontraksi. Tapi, tunggu punya tunggu, sampai azan zuhur
berkumandang, tetap saja aku belum merasakan apa-apa. Bahkan kami berdua masih
sempat makan siang di sebuah restoran dekat klinik.
Usai makan siang, kami berdua balik
lagi ke klinik, dan bidan Ana tampak kaget melihat aku masih ’gagah’ saja, tak
ada tanda-tanda mulas sedikit pun. Hmm, aku sendiri juga sudah agak pesimis
obat itu ada efeknya, karena dua persalinan sebelumnya selalu post partum
(lewat dari perkiraan), dan selalu dibantu dengan induksi supaya aku mengalami
kontraksi.
Bidan Ana segera menelpon dokter
Ria, yang kemudian menginstruksikan untuk mulai memberikan infus induksi
padaku. Tapi aku minta waktu untuk sholat dhuhur dulu. Setelah sholat dhuhur,
mulailah dipasang botol infus yang berisi cairan perangsang itu. Setetes demi
setetes, aku masih segar bugar. Bahkan sholat Ashar, Maghrib dan Isya dapat
kulakukan dengan gerakan biasa, dibantu suami yang memegangi botol infus.
Hihihi lucu juga. Sambil menunggu datangnya mulas di pembaringan, aku banyak
membaca buku dan majalah yang memang sudah kusiapkan, atau mengobrol ringan
dengan suami. Tak lama, aku mempersilakan suami untuk tidur saja dulu, karena
aku juga tak tahu kapan rasa mulas itu akan datang.
Satu botol infus sudah habis,
disambung botol infus yang kedua. Sampai setengah dari botol infus kedua sudah
habis, tetap belum ada reaksi dari tubuhku. Aku pasrah, karena dokter Ria
pernah mengatakan, jika dua botol infus untuk induksi tak ada pengaruh,
terpaksa dilakukan sectio. Hmm, padahal selama ini aku selau melahirkan dengan
normal, meski selalu dibantu induksi.
Tapi, Subhanallah, sekitar jam satu
malam, saat cairan infus dari botol kedua hampir habis, tiba-tiba aku mulai
merasakan mulas yang sangat. Jamaknya induksi, begitu sudah mulas, nyerinya
luar biasa dan hampir tak ada jeda, konrtraksinya terus-menerus, sambung
menyambung menjadi satu. Kata teman yang pernah melahirkan dengan normal baik
dengan atau tanpa induksi, mulas buatan dengan induksi jauh lebih menderita
dari pada mulas alami. Aku sendiri malah belum tahu rasanya mulas alami, karena
persalinan sebelumnya juga harus diinduksi.
Satu hal yang jelas kurasakan,
begitu mulas datang, rasanya seperti ikan yang megap-megap kehabisan air,
kesulitan mengatur nafas di sela-sela kontraksi yang menguat. Maka, pijatan di
punggung oleh suami yang setia menemaniku menjadi penghibur yang cukup ampuh.
Aku juga mencoba membiasakan diri dengan ’menghayati’ sakit tersebut sambil
terus berdoa, hal yang biasa kulakukan sejak persalinanku yang pertama.
Alhamdulillah, jadi terasa jauh lebih ringan.
Beberapa kali bidan Ana memeriksaku
untuk mengecek kemajuan pembukaan di mulut rahim. Mulai pembukaan keenam, aku
merasakan kesakitan luar biasa karena sudah sangat ingin mengejan tapi belum
diperbolehkan, pembukaan belum sempurna. Bidan Ana yang baik hati itu juga
kadang-kadang memberikan aba-aba setiap aku tampak keteteran saat datangnya
kontraksi yang bertubi, ”Tarik nafas lewat hidung... keluarkan lewat mulut.
Terus bu. Tarik nafas... Keluarkan. Tarik nafas... keluarkan”.
Aku menanyakan padanya, kapan dokter
Ria akan datang. Meskipun aku tahu rumah dokter Ria ada di belakang klinik
tersebut, tetapi aku khawatir kemajuan pembukaanku berjalan cepat, bisa-bisa
keburu brojol sebelum beliau datang. Bidan Ana mengatakan dokter Ria sedang
menuju klinik.
Jam setengah tiga pagi, pembukaan
delapan. Kulihat pintu kamar bersalin dibuka, ternyata dokter Ria. Legalah
hatiku. Begitu datang, beliau langsung memerintahkan bidan Ana dan para perawat
untuk memasang kaki-kaki tempat berpijak lututku saat mengejan. Hmm, sebentar
lagi, tiba saatnya, batinku.
”Sudah hapal kan mbak, gimana caranya mengejan yang
benar? Kan sudah anak ketiga,” tanya dokter Ria.
”Duh, sudah agak lupa bu. Sudah lima tahun gak punya bayi. Bisa dijelaskan lagi, bu?” jawabku tak yakin.
Bidan Ana tersenyum, lalu dia
menjelaskan panjang lebar. Mengejan harus menunggu datangnya ’ajakan’ dari
tubuh yaitu saat kontraksi, kedua tangan memeluk kedua lutut, kepala dan
pandangan diarahkan ke bawah, dan diusahakan mengejan tanpa suara, tapi
berkonsentrasi pada usaha mengeluarkan bayi.
Pembukaan lengkap. Saatnya berjuang
mengeluarkan bayi. Pengalaman sebelumnya, yang kurasakan sangat sakit justru
masa-masa kontraksi menjelang pembukaan lengkap tadi. Tapi kalau urusan
mengejan, bagiku malah melegakan. Aku bersiap. Sambil mengucapkan doa
”Hasbunallah wa nik’mal wakiil” bayi berhasil kukeluarkan dalam tiga kali
mengejan. Alhamdulillah, lancar.
Oeeek... oeeek, tepat pukul tiga
dini hari, kudengar suara tangis bayi mungilku. Subhanallah seorang bayi
perempuan cantik dengan rambut tebal bergelombang, yang kelak kuberi nama dia:
Kalifa Firdausy Fahrin. Alhamdulillah, selamat datang nak.
Dokter Ria meminta perawat untuk
mengurusi bayi, sementara beliau dibantu bidan Ana menyelesaikan pekerjaan
untuk mengeluarkan plasenta, lalu menjahit bagian kulit yang robek. Tak terlalu
lama, karena tadi juga sempat kudengar suara ”kress...kress” sesaat sebelum
mengejan. Itu artinya dokter Ria melakukan episiotomi, pengguntingan kulit
secara sengaja untuk memudahkan jalan keluarnya bayi. Lebih baik sengaja
digunting, dari pada robeknya tidak beraturan sehingga menyulitkan saat harus
dilakukan penjahitan. Begitu kata literatur kedokteran yang kubaca.
Doker Ria cukup telaten. Sambil
menjahit, aku diperkenankan melakukan inisiasi dini, mulai membelajarkan adik
bayi menyusui. Tapi bayi mungil ini rasanya tak perlu belajar terlalu lama,
karena ternyata dalam waktu sekejap dia sudah ’rakus’, terus-menerus menyusu. Ini
agak berbeda dengan dua kakaknya, yang pada hari pertama kelahirannya tidak
terlalu ingin menyusu. Alhamdulillah. Bahkan, saat kontrol pada siang harinya
dan aku berkata padanya, ”Wah, heran nih Bu, bayinya menyusu terus gak berhenti
sejak lahir tadi”.
”Lho, memang tugas bayi kan cuma dua mbak, menangis dan menyusu. Alhamdulillah kan, berarti ini bayi yang pintar. Ya dik yaa” jawab dokter Ria sambil tersenyum dan mencolek pipi adik bayi.
”Lho, memang tugas bayi kan cuma dua mbak, menangis dan menyusu. Alhamdulillah kan, berarti ini bayi yang pintar. Ya dik yaa” jawab dokter Ria sambil tersenyum dan mencolek pipi adik bayi.
Sepekan kemudian, saat aku kontrol,
beliau dengan telaten menjelaskan berbagai alternatif alat untuk pengaturan
jarak kelahiran, dan menanyakan caraku mengatur jarak kelahiran selama ini.
Saat kujawab bahwa aku menggunakan metode alami saja, beliau tersenyum bijak.
”Tidak masalah, asal kedisiplinannya dijaga” katanya mengingatkan”.
Beliau juga menjelaskan bahwa
jatahku untuk melahirkan normal (dengan asumsi harus induksi lagi) tinggal satu
kali lagi. Aku baru paham, ternyata seperti halnya sectio, melahirkan dengan
induksi pun ada batasnya. Kata beliau, tubuhku makin lama makin kebal dengan
zat perangsang sehingga dikhawatirkan obat induksi tidak efektif. Hal itu sudah
terlihat kemarin, untuk persalinan yang ketiga aku baru bisa merasakan
kontraksi saat cairan botol infus yang kedua hampir habis.
Hari berganti. Sudah sebulan
melahirkan, tapi anehnya aku masih merasakan nyeri yang sangat di tempat bekas
jahitan. Bergerak sedikit saja rasanya nyeri. Apalagi kalau gerakannya
buru-buru. Berjalan juga harus pelan-pelan. Padahal biasanya, luka bekas
jahitan itu sudah mulai membaik masuk pekan kedua melahirkan. Ada apa ini?.
Penasaran, aku mencoba bertanya ke
mbak Fath, bidan tetanggaku. Setelah dia periksa, ternyata menurutnya ada
bagian dari bekas jahitanku yang belum menutup sempurna, sehingga justru ada
jaringan di bawah kulit yang terdesak keluar. Kaget juga aku, karena pada waktu
kontrol sepekan setelah persalinan, dokter Ria mengatakan jahitanku bagus,
masih belum kering tapi sudah mulai merapat. Eh, kok tiba-tiba ternyata begini.
Mbak Fath menyarankan agar aku segera kontrol lagi ke dokter Ria, untuk
dilakukan tindakan medis seperlunya.
Esok harinya, aku datang ke klinik
dokter Ria. Setelah diperiksa, dokter Ria memutuskan untuk dilakukan bongkar
jahitan dan dijahit ulang. Istilah medisnya ”ekstirpasi”. Jadi kelenjar yang
melesak keluar itu dipotong, lalu dibuat sayatan baru dan dijahit ulang.
Huhuhu, baru mendengar kata dibongkar jahitan saja perutku mendadak agak mulas.
Mana aku periksa sendirian, karena suamiku cuma mengantar lalu berangkat ke
kantornya.
Aku bertanya kenapa ada kasus seperti ini, karena jarang sekali mendengar ada kasus serupa. Tapi kata dokter Ria, kasus seperti ini cukup banyak, dan sulit untuk diketahui di pekan pertama kontrol pasca persalinan.
Aku bertanya kenapa ada kasus seperti ini, karena jarang sekali mendengar ada kasus serupa. Tapi kata dokter Ria, kasus seperti ini cukup banyak, dan sulit untuk diketahui di pekan pertama kontrol pasca persalinan.
”Bismillah, gak apa-apa ya mbak. Masih bagus lho mbak Ning ke sini masih akhir masa nifas, jadi belum sempat campur. Soalnya bahaya banget kalau sudah campur tapi ada kasus begini, bisa terjadi pendarahan hebat” kata dokter Ria menjelaskan resikonya.
Tak ada pilihan lain, aku menurut saja diajak masuk kamar tindakan. Dibius lokal, dibantu bidan Ana, dilakukanlah ekstirpasi. Ternyata sakitnya tak seseram yang kubayangkan. Tentu saja, kan aku dibius. Cuma saat dijahit terasa sangat sakit, sampai beberapa kali aku mengaduh. Padahal biasanya, saat dijahit pasca melahirkan, aku tidak terlalu merasa sakit. Hmm, mungkin berbeda ya, karena usai melahirkan, sebelumnya kan aku sudah merasakan nyeri kontraksi yang luar biasa, sehingga nyeri saat kulit dijahit tak begitu terasa. Tetapi sekarang, tidak ada rasa nyeri apa pun, tiba-tiba ada operasi kecil jahit-menjahit kulit, jadi ambang batas sakitku belum terbiasa.
Untunglah operasi kecil itu tak
berlangsung lama. Setelah kuselesaikan urusan administrasi, aku segera pulang.
Ternyata mahal juga urusan bongkar jahitan ini, sekitar tiga ratus lima puluh
ribuan. Ya sudahlah, kan ini urusan nyawa. Yang jelas, aku harus memulai lagi
dari awal untuk merasakan nyeri-nyeri bekas jahitan seperti usai melahirkan,
setidaknya sampai dua pekan ke depan. Hmm, benar-benar pengalaman yang unik.
Sorenya, saat suami sudah pulang
dari kantor, aku ceritakan hasil pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan dokter
Ria tadi pagi. Eh suamiku malah iseng bertanya, ”Terus bayar gak Jeng,
operasinya?”
”Ya bayar lah mas, lumayan juga nih,
tiga ratus lima puluh ribuan. Emangnya kenapa?”
”Kirain gratis. Kan masih dalam masa
garansi. Hehehe” jawabnya asal.
Halah, ada-ada saja. Memangnya ini jasa servis tivi, kok ada masa garansi segala? Hahaha.
Halah, ada-ada saja. Memangnya ini jasa servis tivi, kok ada masa garansi segala? Hahaha.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ruptur
Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan
maupun dengan menggunakan alat atau tindakan.
Robekan
perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa
sehinga kepala janin terpaksa lahir lebih kebelakang dari pada biasa, kepala
janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada
sirkumferensia suboksipito bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vagina.
B.
Saran
1.
Bagi tenaga medis
Diharapkan mampu mengerti tentang
robekan perineum dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien serta
mampu memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif.
2.
Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan agar mengerti
tentang robekan perineum sampai dengan bagaimana manifestasi klinik dan
penatalaksanaan medisnya. Menerapkan konsen asuhan kebidanan kepada klien
dengan robekan perineum.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar,Rustam. 2005. SinopsisObstetri Fisiologi dan
Patologi. EGC: Jakarta.
Salmah.2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC: Jakarta
Sumarah. 2008. Perawatan Ibu Bersalin. Fitramaya:
Yogyakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan . Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka- Sarwono Prawirohardjo
Varney, Helen. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi
I. EGC : Jakarta.
Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan . Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar