Selasa, 15 Maret 2016

MAKALAH RUPTUR PERINEUM



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang 
          Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Propenas serta strategi Making Pregnancy Safer (MPS) atau kehamilan yang aman sebagai kelanjutan dari program Safe Motherhood dengan tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir (MDG’s, 2010), dalam pernyataan yang diterbitkan di situs resmi WHO dijelaskan bahwa untuk mencapai target Millennium Development Goal’s, penurunan angka kematian ibu dari tahun 1990 sampai dengan 2015 haruslah mencapai 5,5 persen pertahun (antaranews, 2007)
          Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu adalah infeksi pada masa nifas dimana infeksi tersebut berawal dari ruptur perineum. Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya rupture spontan maupun episiotomi perineum yang dilakukan atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih berat (Prawirohardjo, 2005).
          Di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus rupture perineum pada ibu bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik. (Hilmy,  dalam http://stikesharapanmama.blogspot.com, 2010).
          Di Amerika 26 juta ibu bersalin yang mengalami rupture perineum, 40 % diantaranya mengalami rupture perineum (Heimburger, dalam http://stikes harapanmama.blogspot.com, 2009). Di Asia rupture perineum juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian rupture perineum di dunia terjadi di Asia (Campion, dalam http://stikes harapanmama.blogspot.com, 2009). Prevalensi ibu bersalin yang mengalami rupture perineum di Indonesia pada golongan umur 25-30 tahun yaitu 24 % sedang pada ibu bersalin usia  32 –39 tahun sebesar 62 %.
Dampak dari terjadinya rupture perineum pada ibu antara lain terjadinya infeksi pada luka jahitan dimana dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi pada jalan lahir. Selain itu juga dapat terjadi perdarahan karena terbukanya pembuluh darah yang tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik ibu post partum masih lemah.
                      Beberapa faktor penyebab terjadinya rupture perineum terdiri atas faktor ibu seperti: usia, paritas, partus presipitatus, ibu yang tidak mampu berhenti mengejan, partus yang diselesaikan dengan buru-buru, edema dan kerapuhan perineum, varises vulva, arkus pubis yang sempit sehingga kepala terdorong  kebelakang dan   episiotomi  yang sempit, dan faktor janin antara lain: bayi besar, kelainan presentasi, kelahiran bokong, distosia bahu (Oxorn, 2010).

B.         Tujuan
1.      TujuanUmum
Untuk mengetahui tentang robekan jalan lahir pada perineum dan karakteristiknya sertapenangannya.
2.      TujuanKhusus
a.       Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui pengertian rupture perineum; 
b.      Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui klasifikasi rupture perineum;       
c.       Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui tingkatan rupture perineum;     
d.      Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui tanda dan gejala rupture perineum;      
e.       Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui penyebab rupture perineum;      
f.       Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui risiko pada rupture perineum;       
g.      Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui tindakan pada rupture perineum;      


h.      Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui penanganan pada rupture perineum;      
i.        Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui pengobatan pada rupture perineum;      
j.        Mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui komplikasi pada rupture perineum.      






















BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian
            Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul yang terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia  urogenitalis serta  diafragma pelvis. Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada  saat bayi   lahir baik   secara spontan maupun  dengan menggunakan   alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat.   Robekan  perineum   terjadi pada hampir semua   primipara (Wiknjosastro,   2005: 665).
Ruptur Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin terlalu cepat. Robekan perineum terjadi pada hampir semua primipara (Winkjosastro,2005).
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum yang biasanya disebabkan oleh trauma saat persalinan (Maemunah, 2005).
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya (Prawirohardjo,2007).
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa sehinga kepala janin terpaksa lahir lebih kebelakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipito bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vagina.

B.     Klasifikasi
1.      Ruptur Perineum Spontan
          Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.



2.      Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGCso3voyq3ZImos4ShJoxgTZLYqMEMInVB4kMuyXfO_J0YSD00NdmqT-Uy3pF2DC_Q84UTY9i7S46p1ozvJ1Nedu_5-f5aoJacB5w42IrmqOeT-JgWMp6fpHg8FKOB4UrU0u6oIsYrIM/s1600/300px-Medio-lateral-episiotomy.gif          Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar saluran keluar vagina.






Gambar : Episiotomi median dan Episiotomi medio-lateral

C.    Tingkatan Ruptur Perineum
1.         Tingkat I
Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau mengenai kulit perineum sedikit.
2.         Tingkat II
Robekan yang terjadi lebih dalam, yaitu selain mengenai selaput lendir vagina, juga mengenai musculus perinei tranversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
3.         Tingkat III
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
4.         Tingkat IV
Robekan mengenai perineum sampai otot sfingter ani dan mukosa rektum.






Gambar : Derajat Robekan Perineum

D.    Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala robekan  rupture adalah sebagai berikut :
1.    Tanda-tanda Rupture :
a.       Darah segar  yang mengalir  setelah  bayi lahir ;
b.      Uterus  tidak berkontraksi dengan baik;
c.       Plasenta tidak normal.
2.    Gejala  yang sering terjadi adalah:
a.       Pucat;
b.      Lemah;
c.       Pasien dalam keadaan menggigil.
E.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Robekan Perineum
1.    Faktor Predisposisi
Faktor penyebab ruptur perineum diantaranya adalah faktor ibu, faktor janin, dan faktor persalinan pervaginam. Diantara faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai beriut :
1)    Faktor Ibu
a)    Paritas
Menurut panduan Pusdiknakes 2003, paritas adalah jumlah kehamilan yang  mampu menghasilkan janin hidup di luar rahim (lebih dari 28 minggu). Paritas menunjukkan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas dan telah dilahirkan, tanpa mengingat jumlah anaknya (Oxorn, 2003). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia paritas adalah keadaan kelahiran atau partus. Pada primipara robekan perineum hampir selalu terjadi dan tidak jarang berulang pada persalinan berikutnya (Sarwono, 2005).
b)    Meneran
Secara fisiologis ibu akan merasakan dorongan untuk meneran bila pembukaan sudah lengkap dan reflek ferguson telah terjadi. Ibu harus di dukung untuk meneran dengan benar pada saat ia merasakan dorongan dan memang ingin mengejang (Jhonson, 2004). Ibu mungkin merasa dapat meneran secara lebih efektif pada posisi tertentu (JHPIEGO, 2005). Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam memimpin ibu bersalin melakukan meneran untuk mencegah terjadinya ruptur perineum, diantaranya :
-  Menganjurkan ibu untuk meneran sesuai dengan dorongan alamiahnya selama kontraksi.
-  Tidak menganjurkan ibu untuk menahan nafas pada saat meneran.
-  Mungkin ibu akan merasa lebih mudah untuk meneran jika ibu berbaring miring atau setengah duduk, menarik lutut ke arah ibu, dan menempelkan dagu ke dada.
-  Menganjurkan ibu untuk tidak mengangkat bokong saat meneran.
-  Tidak melakukan dorongan pada fundus untuk membantu kelahiran bayi. Dorongan ini dapat meningkatkan resiko distosia bahu dan ruptur uteri.
-  Pencegahan ruptur perineum dapat dilakukan saat bayi dilahirkan terutama saat kelahiran kepala dan bahu.
2) Faktor Janin
    a)   Berat Badan Bayi Baru lahir
Makrosomia adalah berat janin pada waktu lahir lebih dari 4000 gram. Makrosomia disertai dengan meningkatnya resiko trauma persalinan melalui vagina seperti distosia bahu, kerusakan fleksus brakialis, patah tulang klavikula, dan kerusakan jaringan lunak pada ibu seperti laserasi jalan lahir dan robekan pada perineum.
b)   Presentasi
Menurut kamus kedokteran, presentasi adalah letak hubungan sumbu memanjang janin dengan sumbu memanjang panggul ibu. Presentasi digunakan untuk menentukan bagian yang ada di bagian bawah rahim yang dijumpai pada palpasi atau pada pemeriksaan dalam.




Macam-macam presentasi dapat dibedakan menjadi presentasi muka, presentasi dahi, dan presentasi bokong.
-    Presentasi Muka
Presentasi muka atau presentasi dahi letak janin memanjang, sikap extensi sempurna dengan diameter pada waktu masuk panggul atau diameter submento bregmatika sebesar 9,5 cm. Bagian terendahnya adalah bagian antara glabella dan dagu, sedang pada presentasi dahi bagian terendahnya antara glabella dan bregma (Oxorn, 2003). Sekitar 70% presentasi muka adalah dengan dagu di depan dan 30% posisi dagu di belakang.
Keadaan yang menghambat masuknya kepala dalam sikap flexi dapat menjadi penyebab pesentasi muka. Sikap ekstensi memiliki hubungan dengan diproporsi kepala panggul dan merupakan kombinasi yang serius, maka harus diperhitungkan kemungkinan panggul yang kecil atau kepala yang besar. Presentasi muka menyebabkan persalinan lebih lama dibanding presentasi kepala dengan UUK (Ubun-ubun Kecil) di depan, karena muka merupakan pembuka servik yang jelek dan sikap ekstensi kurang menguntungkan.
Penundaan terjadi di pintu atas panggul, tetapi setelah persalinan lebih maju semuanya akan berjalan lancar. Ibu harus bekerja lebih keras, lebih merasakan nyeri, dan menderita lebih banyak laserasi dari pada kedudukan normal. Karena persalinan lebih lama dan rotasi yang sukar akan menyebabkan traumatik pada ibu maupun anaknya.
-     Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah sikap ekstensi sebagian (pertengahan), hal ini berlawanan dengan presentasi muka yang ekstensinya sempurna. Bagian terendahnya adalah daerah diantara margo orbitalis dengan bregma dengan penunjukknya adalah dahi. Diameter bagian terendah adalah diameter verticomentalis sebesar 13,5 cm, merupakan diameter antero posterior kepala janin yang terpanjang.
Presentasi dahi primer yang terjadi sebelum persalinan mulai jarang dijumpai, kebanyakan adalah skunder yakni terjadi setelah persalinan dimulai. Bersifat sementara dan kemudian kepala fleksi menjadi presentasi belakang kepala atau ekstensi menjadi presentasi muka. Proses lewatnya dahi melalui panggul lebih lambat, lebih berat, dan lebih traumatik pada ibu dibanding dengan presentasi lain. Robekan perineum tidak dapat dihindari dan dapat meluas atas sampai fornices vagina atau rektum, karena besarnya diameter yang harus melewati PBP (Pintu Bawah Panggul).
- Presentasi Bokong
Presentasi bokong memiliki letak memanjang dengan kelainan dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah dengan penunjuknya adalah sacrum. Berdasarkan posisi janin, presentasi bokong dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu presentasi bokong sempurna, presentasi bokong murni, presentasi bokong kaki, dan presentasi bokong lutut. Kesulitan pada persalinan bokong adalah terdapat peningkatan resiko maternal.
Manipulasi secara manual pada jalan lahir akan meningkatkan resiko infeksi pada ibu. Berbagai perasat intra uteri, khususnya dengan segmen bawah uterus yang sudah tipis, atau persalinan setelah coming head lewat servik yang belum berdilatasi lengkap, dapat mengakibatkan ruptur uteri, laserasi serviks, ataupun keduanya. Tindakan manipulasi tersebut dapat pula menyebabkan robekan perineum yang lebih dalam (Cunningham, 2005).
3)  Faktor Persalinan Pervaginam
a)   Vakum ekstrasi
Vakum ekstrasi adalah suatu tindakan bantuan persalinan, janin dilahirkan dengan ekstrasi menggunakan tekanan negatif dengan alat vacum yang dipasang di kepalanya. Waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih lama daripada forsep (lebih dari 10 menit). Cara ini tidak dapat dipakai untuk melahirkan anak dengan fetal distress (gawat janin). Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu adalah robekan pada serviks uteri dan robekan pada vagina dan ruptur perineum.
b)     Ekstrasi Cunam/Forsep
Ekstrasi Cunam/Forsep adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan cunam yang dipasang di kepala janin. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu karena tindakan ekstrasi forsep antara lain ruptur uteri, robekan portio, vagina, ruptur perineum, syok, perdarahan post partum, pecahnya varices vagina.
c)      Embriotomi
Embriotomi adalah prosedur penyelesaian persalinan dengan jalan melakukan pengurangan volume atau merubah struktur organ tertentu pada bayi dengan tujuan untuk memberi peluang yang lebih besar untuk melahirkan keseluruhan tubuh bayi tersebut. Komplikasi yang mungkin terjadi atara lain perlukaan vagina, perlukaan vulva, ruptur perineum yang luas bila perforator meleset karena tidak ditekan tegak lurus pada kepala janin atau karena tulang yang terlepas saat sendok tidak dipasang pada muka janin, serta cedera saluran kemih/cerna, atonia uteri dan infeksi.
d)     Persalinan Presipitatus
Persalinan presipitatus adalah persalinan yang berlangsung sangat cepat, berlangsung kurang dari 3 jam, dapat disebabkan oleh abnormalitas kontraksi uterus dan rahim yang terlau kuat, atau pada keadaan yang sangat jarang dijumpai, tidak adanya rasa nyeri pada saat his sehingga ibu tidak menyadari adanya proses persalinan yang sangat kuat (Cunningham, 2005). Sehingga sering petugas belum siap untuk menolong persalinan dan ibu mengejan kuat tidak terkontrol, kepala janin terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar kemungkinan ruptur perineum. Menurut buku Acuan Asuhan Persalinan Normal (2008) laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali.





4)   Faktor Penolong Persalinan
Penolong persalinan adalah seseorang yang mampu dan berwenang dalam memberikan asuhan persalinan. Pimpinan persalinan yang salah merupakan salah satu penyebab terjadinya ruptur perineum, sehingga sangat diperlukan kerjasama dengan ibu dan penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi.

F.     Resiko
            Resiko yang ditimbulkan karena robekan jalan lahir adalah  perdarahan yang dapat menjalar ke segmen  bawah uterus.  Resiko lain yang dapat terjadi karena robekan jalan lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak berdaya, lemah, tekanan  darah turun,  anemia dan berat badan turun.

G.    Tindakan
Tindakan yang dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah sebagai berikut:
1.      Memasang kateter ke dalam kandung kencing untuk  mencegah trauma terhadap uretra saat penjahitan  robekan jalan lahir
2.      Memperbaiki  robekan  jalan lahir.
3.      Jika perdarahan tidak berhenti, tekan luka dengan kasa secara kuat kira-kira selama beberapa menit. Jika perdarahan masih berlangsung, tambahkan satu atau lebih jahitan untuk menghentikan perdarahan
4.      Jika perdarahan  sudah berhenti, dan ibu merasa nyaman dapat diberikan makanan dan minuman pada ibu.

H.    Penanganan
Penanganan robekan jalan lahir adalah:
1.      Untuk mencegah  luka yang robek dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan dilakukan episotomi.
2.      Bila  dijumpai  robekan  perineum dilakukan penjahitan luka dengan baik lapis demi lapis, dengan memperhatikan jangan ada robekan yang terbuka  ke arah vagina yang biasanya dapat dimasuki oleh bekuan darah yang akan menyebabkan luka lama sembuh.
3.      Dengan memberikan antibiotik  yang cukup.
4.      Tujuan penjahitan robekan perineum adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu. Penjahitan dilakukan dengan cara jelujur menggunakan benang catgut kromik.  Dengan memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan laserasi, dan mengulangi pemberian anestesi jika  masih terasa sakit.  Penjahitan  dimulai satu  cm dari puncak luka. Jahit  sebelah dalam  ke arah luar,  dari atas   hingga mencapai bawah laserasi. Pastikan jarak setiap  jahitan  sama  dan otot yang terluka telah  dijahit.  Ikat benang dengan  membuat simpul  dalam vagina.  
Potong  ujung benang  dan sisakan  1,5 cm. melakukan  pemeriksaan ulang pada  vagina  dan jari paling  kecil ke dalam  anus untuk mengetahui  terabanya  jahitan pada   rectum karena bisa menyebabkan   fistula dan bahkan infeksi  (Depkes,  2004).











Gambar : Hecting Perineum

I.       Pengobatan
            Pengobatan yang dapat dilakukan untuk  robekan jalan lahir adalah dengan memberikan  uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat  ini tidak  boleh diberikan sebelum  bayi  lahir.  Manfaat  dari pemberian obat ini  adalah  untuk  mengurangi terjadinya  perdarahan  pada kala III dan  mempercepat lahirnya  plasenta.


            Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan dengan perawatan   vulva. Hal-hal yang perlu  diperhatikan adalah  :
1.      Mencegah  kontaminasi dengan  rectum
2.      Menangani  dengan lembut jaringan luka
3.      Membersihkan  darah yang menjadi sumber  infeksi dan bau.

J.      Komplikasi
Resiko komplikasi yang mungkin  terjadi  jika rupture perineum  tidak segera di atas, yaitu :
1.      Perdarahan
            Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan  dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot (Depkes, 2006).
2.      Fistula
            Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing  luka, maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan  kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga  terjadi iskemia (Depkes,  2006).
3.      Hematoma
            Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya penekanan kepala janin serta  tindakan persalinan yang ditandai dengan  rasa nyeri pada  perineum  dan  vulva  berwarna biru dan merah. 
4.      Infeksi
            Infeksi pada  masa nifas adalah peradangan  di sekitar alat genetalia pada kala nifas.  Perlukaan  pada persalinan merupakan tempat masuknya  kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkatnya  suhu tubuh melebihi  380C, tanpa menghitung pireksia nifas.
 Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi  pada traktus gentitalis untuk  mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi.
            Robekan jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan yang berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus (rupture uteri). Penanganan yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan  evaluasi  terhadap sumber dan jumlah perdarahan. Jenis   robekan perineum adalah mulai dari tingkatan ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh  perineum yaitu  mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Rupture perineum dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta  penyebab terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.
















           
SAAT JAHITANKU HARUS DIBONGKAR ULANG
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJ6JXBmhLsJo_J67DfapZA7JhWMdllEjcFfbImlHq-XmkhCl7xIOCNgemjPezxofYzHVtB-yPJoc25nSkrslamNHArfforcVTxgf7eKWKlrvivMag8YenjICuZ-4hN7CzFe8rgxgDCpm6m/s200/operasi.jpg





Ini kehamilanku yang ketiga. Meskipun di Jakarta banyak dokter kandungan perempuan, tapi ibu dokter kandungan yang satu ini sangat laris. Dokter Ria Jayanti, Sp.O.G., yang berpraktek di klinik SEHATI, klinik yang dibangun berdua dengan suaminya yang kebetulan juga seorang dokter bedah tulang.
Setiap aku ingin memeriksakan kandunganku di malam hari (karena siangnya aku dan suami bekerja), aku harus sengaja datang lebih awal untuk mendapatkan nomor urut agar nantinya tidak antri terlalu lama. Itu pun harus konfirmasi terlebih dahulu lewat telepon sejak pagi untuk mendapatkan ’kuota’ periksa hari itu. Pasiennya dalam semalam bisa mencapai tiga puluhan, dan itu baru selesai sekitar jam sebelas malam!.
Pernah, aku agak telat mendaftar, baru datang ke klinik Sehati kurang lebih jam tujuh malam. Ternyata aku mendapatkan nomor urut dua puluh dua. Halah, padahal dokternya baru saja mulai praktek. Setiap pasien diperiksa sekitar seperempat jam. Waduh, lalu jam berapa giliranku? Untunglah, rumah adik iparku tidak terlalu jauh dari klinik Sehati. Aku memutuskan untuk istirahat saja dulu di rumah adik, lalu sekira jam sepuluh balik lagi ke klinik tersebut.
Tepat jam sepuluh malam, aku balik lagi ke klinik, menunggu dua pasien diperiksa, lalu tibalah giliranku. Ini pemeriksaan untuk minggu keempat puluh, usia sangat matang untuk melahirkan. Seperti dua kehamilanku sebelumnya, meski usia kehamilan sudah empat puluh pekan, tanda-tanda kontraksi tak kunjung datang. Bahkan cuma kontraksi palsu (Braxton Hicks) pun tak kurasakan. Biasanya, aku melahirkan mundur sepekan sampai sepuluh haru dari Hari Perkiraan Lahir (HPL).



Setelah dilakukan pemeriksaan dalam dan USG, ternyata di rahimku mulai terjadi pengapuran, sehingga dokter Ria memutuskan supaya aku meminum pil untuk merangsang kontraksi, pil citotek. Aku diberikan dua pil, yang satu diminum langsung saat itu juga, dan satu kapsul lagi diminum lima jam kemudian. Jika tetap tidak terjadi tanda-tanda kontraksi, dokter Ria menyarankan supaya esok hari aku datang ke klinik lagi karena akan dilakukan tindakan perangsangan kontraksi dengan cara lain.
Sepulang dari klinik, aku mencoba tidur, tapi ternyata tidak bisa terlelap. Mulas? Tidak juga. Ada rasa mulas sedikit tapi justru terasa di perut bagian atas, tidak pindah ke bagian bawah. Lima jam kemudian, aku telan pil perangsang yang kedua, lalu mencoba tidur lagi. Tetap seperti sebelumnya, tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mulas tetap cuma terasa di bagian atas, sama sekali bukan kontraksi. Kan ini kehamilanku yang ketiga, aku sudah bisa membedakan mana mulas biasa dan yang mana mulas menjelang melahirkan.
Pagi hari jam delapan, berhubung belum ada tanda-tanda kontraksi sama sekali, aku dan suami bersiap-siap ke klinik Sehati. Tak lupa kubawa satu tas travel ukuran sedang perlengkapan untuk persalinan, yang jauh-jauh hari sudah kusiapkan.
Sampai di klinik tersebut aku menyerahkan surat pengantar dari dokter Ria pada bidan Ana. Surat pengantar itu dibuat semalam, yang isinya tindakan medis yang perlu dilakukan padaku jika aku datang. Bidan Ana memintaku untuk tidur, dan aku diberi obat perangsang mulas lagi, tapi kali ini dari bawah (vaginal).
Karena aku tak betah duduk diam menunggu, aku minta ijin pada bidan Ana untuk menunggu mulas sambil berjalan-jalan di sekitar klinik, dan dia mengiyakan. Ditemani suami, aku berjalan-jalan santai, pikirku sambil memperlancar jalannya persalinan kalau nanti sudah saatnya kontraksi. Tapi, tunggu punya tunggu, sampai azan zuhur berkumandang, tetap saja aku belum merasakan apa-apa. Bahkan kami berdua masih sempat makan siang di sebuah restoran dekat klinik.
Usai makan siang, kami berdua balik lagi ke klinik, dan bidan Ana tampak kaget melihat aku masih ’gagah’ saja, tak ada tanda-tanda mulas sedikit pun. Hmm, aku sendiri juga sudah agak pesimis obat itu ada efeknya, karena dua persalinan sebelumnya selalu post partum (lewat dari perkiraan), dan selalu dibantu dengan induksi supaya aku mengalami kontraksi.
  
Bidan Ana segera menelpon dokter Ria, yang kemudian menginstruksikan untuk mulai memberikan infus induksi padaku. Tapi aku minta waktu untuk sholat dhuhur dulu. Setelah sholat dhuhur, mulailah dipasang botol infus yang berisi cairan perangsang itu. Setetes demi setetes, aku masih segar bugar. Bahkan sholat Ashar, Maghrib dan Isya dapat kulakukan dengan gerakan biasa, dibantu suami yang memegangi botol infus. Hihihi lucu juga. Sambil menunggu datangnya mulas di pembaringan, aku banyak membaca buku dan majalah yang memang sudah kusiapkan, atau mengobrol ringan dengan suami. Tak lama, aku mempersilakan suami untuk tidur saja dulu, karena aku juga tak tahu kapan rasa mulas itu akan datang.
Satu botol infus sudah habis, disambung botol infus yang kedua. Sampai setengah dari botol infus kedua sudah habis, tetap belum ada reaksi dari tubuhku. Aku pasrah, karena dokter Ria pernah mengatakan, jika dua botol infus untuk induksi tak ada pengaruh, terpaksa dilakukan sectio. Hmm, padahal selama ini aku selau melahirkan dengan normal, meski selalu dibantu induksi.
Tapi, Subhanallah, sekitar jam satu malam, saat cairan infus dari botol kedua hampir habis, tiba-tiba aku mulai merasakan mulas yang sangat. Jamaknya induksi, begitu sudah mulas, nyerinya luar biasa dan hampir tak ada jeda, konrtraksinya terus-menerus, sambung menyambung menjadi satu. Kata teman yang pernah melahirkan dengan normal baik dengan atau tanpa induksi, mulas buatan dengan induksi jauh lebih menderita dari pada mulas alami. Aku sendiri malah belum tahu rasanya mulas alami, karena persalinan sebelumnya juga harus diinduksi.
Satu hal yang jelas kurasakan, begitu mulas datang, rasanya seperti ikan yang megap-megap kehabisan air, kesulitan mengatur nafas di sela-sela kontraksi yang menguat. Maka, pijatan di punggung oleh suami yang setia menemaniku menjadi penghibur yang cukup ampuh. Aku juga mencoba membiasakan diri dengan ’menghayati’ sakit tersebut sambil terus berdoa, hal yang biasa kulakukan sejak persalinanku yang pertama. Alhamdulillah, jadi terasa jauh lebih ringan.
Beberapa kali bidan Ana memeriksaku untuk mengecek kemajuan pembukaan di mulut rahim. Mulai pembukaan keenam, aku merasakan kesakitan luar biasa karena sudah sangat ingin mengejan tapi belum diperbolehkan, pembukaan belum sempurna. Bidan Ana yang baik hati itu juga kadang-kadang memberikan aba-aba setiap aku tampak keteteran saat datangnya kontraksi yang bertubi, ”Tarik nafas lewat hidung... keluarkan lewat mulut. Terus bu. Tarik nafas... Keluarkan. Tarik nafas... keluarkan”.
Aku menanyakan padanya, kapan dokter Ria akan datang. Meskipun aku tahu rumah dokter Ria ada di belakang klinik tersebut, tetapi aku khawatir kemajuan pembukaanku berjalan cepat, bisa-bisa keburu brojol sebelum beliau datang. Bidan Ana mengatakan dokter Ria sedang menuju klinik.
Jam setengah tiga pagi, pembukaan delapan. Kulihat pintu kamar bersalin dibuka, ternyata dokter Ria. Legalah hatiku. Begitu datang, beliau langsung memerintahkan bidan Ana dan para perawat untuk memasang kaki-kaki tempat berpijak lututku saat mengejan. Hmm, sebentar lagi, tiba saatnya, batinku.

”Sudah hapal kan mbak, gimana caranya mengejan yang benar? Kan sudah anak ketiga,” tanya dokter Ria.

”Duh, sudah agak lupa bu. Sudah lima tahun gak punya bayi. Bisa dijelaskan lagi, bu?” jawabku tak yakin.
Bidan Ana tersenyum, lalu dia menjelaskan panjang lebar. Mengejan harus menunggu datangnya ’ajakan’ dari tubuh yaitu saat kontraksi, kedua tangan memeluk kedua lutut, kepala dan pandangan diarahkan ke bawah, dan diusahakan mengejan tanpa suara, tapi berkonsentrasi pada usaha mengeluarkan bayi.
Pembukaan lengkap. Saatnya berjuang mengeluarkan bayi. Pengalaman sebelumnya, yang kurasakan sangat sakit justru masa-masa kontraksi menjelang pembukaan lengkap tadi. Tapi kalau urusan mengejan, bagiku malah melegakan. Aku bersiap. Sambil mengucapkan doa ”Hasbunallah wa nik’mal wakiil” bayi berhasil kukeluarkan dalam tiga kali mengejan. Alhamdulillah, lancar.
Oeeek... oeeek, tepat pukul tiga dini hari, kudengar suara tangis bayi mungilku. Subhanallah seorang bayi perempuan cantik dengan rambut tebal bergelombang, yang kelak kuberi nama dia: Kalifa Firdausy Fahrin. Alhamdulillah, selamat datang nak.
Dokter Ria meminta perawat untuk mengurusi bayi, sementara beliau dibantu bidan Ana menyelesaikan pekerjaan untuk mengeluarkan plasenta, lalu menjahit bagian kulit yang robek. Tak terlalu lama, karena tadi juga sempat kudengar suara ”kress...kress” sesaat sebelum mengejan. Itu artinya dokter Ria melakukan episiotomi, pengguntingan kulit secara sengaja untuk memudahkan jalan keluarnya bayi. Lebih baik sengaja digunting, dari pada robeknya tidak beraturan sehingga menyulitkan saat harus dilakukan penjahitan. Begitu kata literatur kedokteran yang kubaca.
Doker Ria cukup telaten. Sambil menjahit, aku diperkenankan melakukan inisiasi dini, mulai membelajarkan adik bayi menyusui. Tapi bayi mungil ini rasanya tak perlu belajar terlalu lama, karena ternyata dalam waktu sekejap dia sudah ’rakus’, terus-menerus menyusu. Ini agak berbeda dengan dua kakaknya, yang pada hari pertama kelahirannya tidak terlalu ingin menyusu. Alhamdulillah. Bahkan, saat kontrol pada siang harinya dan aku berkata padanya, ”Wah, heran nih Bu, bayinya menyusu terus gak berhenti sejak lahir tadi”.
”Lho, memang tugas bayi kan cuma dua mbak, menangis dan menyusu. Alhamdulillah kan, berarti ini bayi yang pintar. Ya dik yaa” jawab dokter Ria sambil tersenyum dan mencolek pipi adik bayi.
Sepekan kemudian, saat aku kontrol, beliau dengan telaten menjelaskan berbagai alternatif alat untuk pengaturan jarak kelahiran, dan menanyakan caraku mengatur jarak kelahiran selama ini. Saat kujawab bahwa aku menggunakan metode alami saja, beliau tersenyum bijak.

”Tidak masalah, asal kedisiplinannya dijaga” katanya mengingatkan”.

Beliau juga menjelaskan bahwa jatahku untuk melahirkan normal (dengan asumsi harus induksi lagi) tinggal satu kali lagi. Aku baru paham, ternyata seperti halnya sectio, melahirkan dengan induksi pun ada batasnya. Kata beliau, tubuhku makin lama makin kebal dengan zat perangsang sehingga dikhawatirkan obat induksi tidak efektif. Hal itu sudah terlihat kemarin, untuk persalinan yang ketiga aku baru bisa merasakan kontraksi saat cairan botol infus yang kedua hampir habis.
Hari berganti. Sudah sebulan melahirkan, tapi anehnya aku masih merasakan nyeri yang sangat di tempat bekas jahitan. Bergerak sedikit saja rasanya nyeri. Apalagi kalau gerakannya buru-buru. Berjalan juga harus pelan-pelan. Padahal biasanya, luka bekas jahitan itu sudah mulai membaik masuk pekan kedua melahirkan. Ada apa ini?.
Penasaran, aku mencoba bertanya ke mbak Fath, bidan tetanggaku. Setelah dia periksa, ternyata menurutnya ada bagian dari bekas jahitanku yang belum menutup sempurna, sehingga justru ada jaringan di bawah kulit yang terdesak keluar. Kaget juga aku, karena pada waktu kontrol sepekan setelah persalinan, dokter Ria mengatakan jahitanku bagus, masih belum kering tapi sudah mulai merapat. Eh, kok tiba-tiba ternyata begini. Mbak Fath menyarankan agar aku segera kontrol lagi ke dokter Ria, untuk dilakukan tindakan medis seperlunya.

Esok harinya, aku datang ke klinik dokter Ria. Setelah diperiksa, dokter Ria memutuskan untuk dilakukan bongkar jahitan dan dijahit ulang. Istilah medisnya ”ekstirpasi”. Jadi kelenjar yang melesak keluar itu dipotong, lalu dibuat sayatan baru dan dijahit ulang. Huhuhu, baru mendengar kata dibongkar jahitan saja perutku mendadak agak mulas. Mana aku periksa sendirian, karena suamiku cuma mengantar lalu berangkat ke kantornya.
Aku bertanya kenapa ada kasus seperti ini, karena jarang sekali mendengar ada kasus serupa. Tapi kata dokter Ria, kasus seperti ini cukup banyak, dan sulit untuk diketahui di pekan pertama kontrol pasca persalinan.

”Bismillah, gak apa-apa ya mbak. Masih bagus lho mbak Ning ke sini masih akhir masa nifas, jadi belum sempat campur. Soalnya bahaya banget kalau sudah campur tapi ada kasus begini, bisa terjadi pendarahan hebat” kata dokter Ria menjelaskan resikonya.
Tak ada pilihan lain, aku menurut saja diajak masuk kamar tindakan. Dibius lokal, dibantu bidan Ana, dilakukanlah ekstirpasi. Ternyata sakitnya tak seseram yang kubayangkan. Tentu saja, kan aku dibius. Cuma saat dijahit terasa sangat sakit, sampai beberapa kali aku mengaduh. Padahal biasanya, saat dijahit pasca melahirkan, aku tidak terlalu merasa sakit. Hmm, mungkin berbeda ya, karena usai melahirkan, sebelumnya kan aku sudah merasakan nyeri kontraksi yang luar biasa, sehingga nyeri saat kulit dijahit tak begitu terasa. Tetapi sekarang, tidak ada rasa nyeri apa pun, tiba-tiba ada operasi kecil jahit-menjahit kulit, jadi ambang batas sakitku belum terbiasa.
Untunglah operasi kecil itu tak berlangsung lama. Setelah kuselesaikan urusan administrasi, aku segera pulang. Ternyata mahal juga urusan bongkar jahitan ini, sekitar tiga ratus lima puluh ribuan. Ya sudahlah, kan ini urusan nyawa. Yang jelas, aku harus memulai lagi dari awal untuk merasakan nyeri-nyeri bekas jahitan seperti usai melahirkan, setidaknya sampai dua pekan ke depan. Hmm, benar-benar pengalaman yang unik.
Sorenya, saat suami sudah pulang dari kantor, aku ceritakan hasil pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan dokter Ria tadi pagi. Eh suamiku malah iseng bertanya, ”Terus bayar gak Jeng, operasinya?”
”Ya bayar lah mas, lumayan juga nih, tiga ratus lima puluh ribuan. Emangnya kenapa?”
”Kirain gratis. Kan masih dalam masa garansi. Hehehe” jawabnya asal.
Halah, ada-ada saja. Memangnya ini jasa servis tivi, kok ada masa garansi segala? Hahaha.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Ruptur Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa sehinga kepala janin terpaksa lahir lebih kebelakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipito bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vagina.
B.     Saran
1.      Bagi tenaga medis
Diharapkan mampu mengerti tentang robekan perineum dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien serta mampu memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif.
2.      Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan agar mengerti tentang robekan perineum sampai dengan bagaimana manifestasi klinik dan penatalaksanaan medisnya. Menerapkan konsen asuhan kebidanan kepada klien dengan robekan perineum.


DAFTAR PUSTAKA

Mochtar,Rustam. 2005. SinopsisObstetri Fisiologi dan Patologi. EGC: Jakarta.
Salmah.2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC: Jakarta
Sumarah. 2008. Perawatan Ibu Bersalin. Fitramaya: Yogyakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka- Sarwono Prawirohardjo
Varney, Helen. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi I. EGC : Jakarta.
Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka




Tidak ada komentar:

Posting Komentar